Rembulan Masih Mengintip Malu - “Kalau begitu, mari kita keluar sejenak, jangan takut, Cuma untuk menghirup udara segar!” Dewangga berkata Untuk menenangkan rembulan masih mengintip malu Clara. Ternyata pertemuan itu berlanjut di sekolah. Ternyata Dewangga anak kelas II A-2 di SMAN-1. Berarti mereka satu sekolah, satu almamater.
Ternyata pemuda yang seringkali menjadi gunjingan teman-teman gadisnya adalah Dewangga yang cakep, yang pintar, yang baik hati, dan yang….yang apa saja menjadi idola. Dan ternyata yang berkata, “Clara aku mencintaimu.”
Clara hanya punya waktu sampai esok hari rembulan masih mengintip malu, untuk menjawab pernyataan Dewangga. “……Aku hanya anak seorang petani, Clara. Tapi aku punya cinta. “Dewangga bercerita, dan ini membuat Clara terharu dengan kejujurannya.
“Aku anak tunggal, lahir dilingkungan keluarga kaya, Dewa, tapi itu tidak membuatku berjalan dengan kepala tengadah, sombong.” Clara berkata lirih. Sampai dibagian ini, wajah Clara menjadi jengah. Rembulan masih mengintip malu-malu. Clara teringat, saat itu dibiarkannya Dewangga mencium rambutnya.
Ruangan balairung, tempat pertemuan para kerabat kerajaan dengan Maharaja Sangiang dan Maharani, terlihat cerah. Wajah-wajah para dayang, inang-inang putri Clara, dan para dewan menteri begitu berseri. Hari ini rembulan masih mengintip malu, adalah saat kembalinya Sang Puteri, permata kecintaan seluruh rakyat Paseban. Kerinduan terlihat jelas dari sinar mata mereka yang kejora.
“Duli baginda yang dipertuan, Maharaja dan Maharani segera tiba, hadirin dipersilahkan menempati kursi masing-masing!” pelepas gema memberitakan kedatangan Maharaja dan Maharaninya. Diiringi musik lembut, disambut tarian lemah gemulai, Maharaja Sangiang dan Maharani Jata berjalan memasuki ruang pertemuan dan duduk diatas singgasananya.
“Keselamatan dan kemuliaan, selalu menyertai paduka dan keluarga,” doa para kerabat istana sesaat setelah Maharaja dan Maharani duduk di singgasana kerajaan. Terdengar suara berwibawa sang Maharaja Sangiang, “Hari ini pupuslah rindu dendam di hati. Puteri tercinta akan kembali, datang bersama ribuan kembang, datang bersama cinta kasih sejati rembulan masih mengintip malu.” Ucapan seperti pantun itu disambut derai senyum dan tawa para kerabat istana. Maka berlangsunglah pesta meriah di negeri tak terjangkau indera manusia, upacara menyambut puteri tercinta, penyejuk mata.
Sementara itu Clara tersentak dari lamunannya. Angin malam membuat sedikit menggigil. Tapi keputusan penting dalam hidupnya telah bulat sudah. “Wahai rembulan, aku akan mengatakannya,….ya aku telah menemukan keriangan itu. Terima kasih rembulan kau temani Clara,”bisiknya lirih, kepada sang rembulan yang tak lagi mengintip malu.